Sumbawa Besar–Selasa, 6 Agustus 2024, Lembaga Konsultan dan Survei MY Institute menggelar diskusi publik dengan tema “Money Politics dan Preferensi Partisipasi Pemilih pada Pilkada Sumbawa 2024.
Kegiatan diskusi publik tersebut diisi oleh pembicara pertama Yadi Satriadi, S.Ikom., MA selaku peneliti sekaligus ketua metodologi MY Institute, dan pembicara ke dua dari kegiatan ini dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Sumbawa, Ubaidullah, M. Pd selaku Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia, Organisasi dan Diklat Badan Pengawas Pemilihan Umum Sumbawa.
Survei yang dilaksanakan pada 20 Juli – 2 Agustus 2024 menggunakan margin of error +/- 5% dengan tingkat kepercayaan 95% sehingga mendapatkan responden 400 orang.
Sampel dipilih dengan menggunakan Multistage Random Sampling yang terdistribusi secara proporsional di setiap Kecamatan se-Kabupaten Sumbawa.
Selain itu, yang membedakan dengan survei sebelum-sebelumnya, survei kali ini menggunakan Teknik quality control dengan cara melakukan callback responden yang telah diwawancarai oleh surveyor sebayak 30% dari seluruh responden yang dipilih acak oleh supervisi di setiap kecamatan.
Menurut Yadi, pada pemaparan pertamanya menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa 2024 mendatang terhitung cukup besar, yaitu sekitar 89,8% dari responden mengetahui akan dilaksanakan pilkada di akhir 2024.
Angka ini diharapkan dapat berbanding lurus dengan partisipasi masyarakat pada pilkada November 2024 mendatang.
Dari persebaran responden tersebut masyarakat juga diminta untuk menjawab terkait kapan menetapkan pilihan untuk menyoblos pada pilkada 2020 lalu, tingkat keseringan dan cara bersikap jika ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon Bupati dan Wakil Bupati, serta cara bersikap jika di Pilkada November 2024 mendatang ditawari uang atau barang menjelang pemilu, tegas Yadi selaku peneliti MY Institute.
Berdasarkan hasil survei tersebut menunjukkan bahwa 65,6% pemilih menentukan sikap untuk memilih calon bupati dan wakil bupati di dekat dekat pemilihan (di dalam TPS, di hari H, di hari tenang atau H-3) dengan alasan pemilih membutuhkan waktu untuk menentukan pilihan, pemilih masih mengumpulkan informasi dan melihat program dan visi misi yang ditawarkan pasangan calon, dan pemilih masih ragu ragu dengan calon yang akan dipilih serta pemilih cenderung memilih pasangan calon yang memberikan uang.
Sedangkan 33,4% baru menentukan sikap di 6 bulan terakhir (dari awal masa pendaftaran di KPU). Alasannya pun beragam diantaranya karena memiliki hubungan keluarga dengan pasangan calon, pemilih sudah yakin akan memilih siapa, pemilih telah kenal lama dengan calonnya dan telah melihat kerja nyata dari calon.
Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa terhitung cukup besar, yaitu lebih dari setengah pemilih belum menentukan sikap jauh-jauh hari, dan masih mempertimbangkan siapa yang akan dipilih menjelang pemilihan.
Ketua metodologi MY Institute ini juga menjelaskan bahwa tingkat pemilih pernah mendapatkan uang atau barang dari calon bupati dan wakil bupati Sumbawa atau tim sukses di tahun 2020 lalu tergolong cukup besar, yaitu 10% mengaku pernah diberikan.
Begitu pula, tingkat responden ketika ditanyakan keseringan melihat di lingkungan sekitar yang menerima uang atau hadiah dari calon atau tim sukses menjelang hari pemilihan menunjukkan sebesar 32,1% pernah melihat orang sekitarnya menerima. Selain itu, pemilih ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon yang terjadi di Kabupaten Sumbawa saat ini juga tergolong cukup besar. Terbukti, sebesar 10,1% pemilih pernah ditawari barang, uang atau hadiah agar memilih calon.
Dari data yang ada juga menunjukkan bahwa responden menganggap pemberian tersebut sebagai hal yang wajar sebesar 20,5% dan pemilih yang menganggap politik uang sebagai hal yang wajar akan menerima uang atau barang atau hadiah tersebut sebesar 20%.
Hasil tersebut berbanding lurus dengan tingkat penerimaan pemilih saat ditawarkan uang atau barang menjelang pilkada 2024 lalu sebesar 21,8%.
Sedangkan yang menolak sejumlah 63%, Sisanya 15,2% pemilih tidak tahu atau tidak menjawab ketika ditanyakan terkait hal tersebut. “Angka-angka ini terhitung sangat besar. Negara seperti Uganda saja Tingkat Money Politcsnya kurang dari 50%, sehingga angka 10% hingga 20% bukanlah angka kecil,” ungkap Yadi.
Selain itu, jika melihat Kembali Pilkada NTB 2018 lalu dan Pilkada Sumbawa 2020 lalu, selisih antara pemenang degan juara dua kurang dari 10%.
Ubaidullah, selaku Anggota Bawalsu Kabupaten Sumbawa menanggapi bahwa mereka telah berupaya keras untuk meminimalisir terjadinya politik uang khususnya di Kabupaten Sumbawa.
Ubai juga menambahkan bahwa money politics merupakan skandal isu pelanggaran penting yang juga termasuk salah satu isu krusial dari pemilihan pilkada.
Money politics ini luar biasa pengaruhnya karna dapat menciderai dari proses demokrasi itu sendiri.
“Harapan dari Bawaslu memohon kepada seluruh masyarakat menjaga proses demokrasi dengan lancar, salah satunya jika masyarakat menemukan ada kedugaan pelanggaran dan terdapat bukti foto atau video dimohon untuk segera melaporkan,” ujarnya.
Pihak Bawaslu akan menindaklanjuti pelaporan tersebut, bahkan akan menjaga privasi si pelapor karena sudah menjadi tugas dari Bawaslu untuk selalu menjaga dan mengawasi Pilkada yang merupakan bagian dari proses demokrasi.
Bawaslu sambung Ubai sangat berharap masyarakat bisa membantu mewujudkan harapan tersebut. Namun, perlu dipahami Bawaslu memiliki batasan-batasan terkait pelaporan indikasi adanya pelanggaran karena untuk yang menentukan bersalah itu tetap dipengadilan bukan tugas dari mereka.
Bawaslu hanya merekomendasikan dan memberitahukan kejadian saja.
Menambahkan di akhir, Yadi menutup diskusi malam hari itu untuk menjadikan diskusi publik ini catatan penting bagi para calon yang akan maju dan berniat menerapkan strategi money politics. Menurut Yadi strategi ini tidak cukup ampuh seperti yang dibayangan kita selama ini. Berdasarkan hasil survei, bahwa masyarakat bisa saja menerima uang tapi tidak memilih yang memberikan uang.
Menurut Yadi hal tersebut bisa terjadi karena ada juga masyarakat yang ingin memberikan efek jera kepada calon agar tidak melakukan hal tersebut terus menerus.
Namun jika itu, tetap akan terjadi, survei dan rilis ini menjadi saah satu warning kepada bawaslu dan lembaga terkait untuk mulai bergerak menekannya, sehingga angka 21,8% dari analisa MY Institute tersebut tidak benar-benar terjadi. (Bs)