Sumbawa Besar–Mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Universitas Sumbawa (FH UNSA), mendemo Kejaksaan Negeri Sumbawa, Selasa (17/12/2024) yang dikoordinir Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FH UNSA–Widodo.
Mereka menyoroti profesionalisme dan transparansi penanganan pelanggaran pada Pilkada Serentak tahun 2024 di Kabupaten Sumbawa, khususnya pada dugaan pelanggaran proses pemungutan suara di TPS 6 Desa Juran Alas, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, pada 27 November 2024 lalu.
Dalam pernyataannya, disebutkan terjadi kecurangan pencoblosan surat suara tercoblos sebanyak 121 lembar di TPS 6 Desa Juran Alas Kecamatan Sumbawa. Diketahui berawal dari surat suara yang dibuka, dikeluarkan dan dicek oleh KPPS. Lalu diketahui bahwa ada surat suara yang sudah tercoblos tersebut.
Kejadian tersebut mendapat respon dari Gakkumdu dan memalukan penanganan hukum, namun secara resmi dihentikan pada 6 Desember 2024 dengan dalil tidak ditemukan bukti yang dapat mengah kepada pelaku pencoblosan surat suara
Penyataan tersebut dinilai pihaknya sangat disayangkan karena apa yang disampaikan GAKKUMDU telah mencederai nilai demokrasi dan hukum yang belaku di negara ini.
Nilai demokrasi dan hukum yang sejatinya memperjuangkan nilai kemanusiaan yakni kebebasan untuk menentukan pilihan memilih pemimpin yang ada di daerah ini sesuai regulasi berlaku harus tercederai dengan sikap curang yang dilakukan oleh oknum tertentu demi memperjuangkan bandit politik naik tahta.
Selain itu sikap Gakkumdu yang menilai saksi tertentu sebagai dasar menyimpulkan tidak ditemukan unsur pidana di dalamnya. tentu apa yang dilakukan Gakkumdu berpotensi melanggar norma-norma yang terdapat dalam hukum
acara.
“Kami menganggap bahwa Gakkumdu diduga tidak professional dan transparan dalam menyikapi kasus TPS Juran Alas Kecamatan Alas,” tegas Widoro.
BEM FH UNSA mendorong agar
Sentra Gakkumdu harus transparan menyikapi permasalahan ini. Sentra Gakkumdu harus professional dalam menyikapi permasalahan ini. Sentra Gakkumdu harus independent dan tidak boleh ada intimidasi dalam menyikapi masalah ini. Sentra Gakkumdu tidak boleh terbang pilih dalam menyikapi masalah ini.
Menerima aspirasi FH UNSA, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), Endi Arifin, SH., menegaskan di hadapan para mahasiswa bahwa
pada intinya pihaknya sudah memahami aspirasi tentang dugaan pelanggaran peristiwa surat suara yang sudah tercoblos, 59 untuk Pilkada Bupati dan 60 untuk Pilgub.
Dengan terjadinya peristiwa tersebut pada saat itu juga sentra Gakkumdu sudah langsung terjun ke lokasi yang terdiri dari Kejaksaan, Polri dan Bawaslu serta aparat inteljen di Kabupaten Sumbawa untuk melihat, mengetahui dan melakukan pengumpulan data (puldata) dan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket).
Diketahui ada surat suara dengan kondisi yang sudah tercoblos, 59 untuk Pilbup dan 60 untuk Pilgub. Peristiwa itu terjadi diketahui sebelum kegiatan pemungutan suara dilaksanakan atau sebelum masyarakat datang, para KPPS mengeluarkan surat suara di kotaknya.
“Karena terjadi sebelum pemilihan dan diketahui saat kotak dibuka akhirnya dianggap sebagai surat suara rusak, akhirnya pemilihan tetap dilanjutkan dan mengganti surat suara yang rusak. Hal itu didukung oleh situasi dan kondisi kondusif. Berbeda halnya ketika peristiwa terjadi pada saat pemungutan suara, maka bisa dilakukan PSU,” ungkap Kajari.
Sentra Gakkumdu tetap menelusuri peristiwa tersebut, telah melakukan klarifikasi terhadap 20 orang yang diduga terlibat akan peristiwa yang sudah terjadi.
“Kita sudah menelusuri mulai dari pendistribusian surat suara mulai dari Kabupaten, ke Desa dan ke TPS sampai ditemukan di TPS 6.
Dari klarifikasi yang dilakukan belum bisa memastikan siapa pelakunya,” sebut Kajari.
Menurutnya, memang ada beberapa Kelemahan karena logistik transit beberapa tempat dan tidak adanya CCTV.
Dari berbagai klarifikasi tersebut tim Sentra Gakkumdu menyesuaikan dengan pasal yang ada di UU Pilkada.
Setelah dianalisis, peristiwa yang terjadi di TPS 6 tersebut belum ada pasal yang mengaturnya tapi ada beberapa pasal yang mendekati yang pasal 187 huruf c ayat 2, jika disandingkan dengan peristiwa yang terjadi maka tidak memenuhi unsur pidana.
Pasal 178 ayat 1.
Menurut Kajari, kalau dicermati pasal tersebut mengatur pasca pencoblosan yang mana disebut perbuatan merusak atau merubah hasil penghitungan suara, sementara kejadiannya sebelum pencoblosan maka ketentuan tersebut tidak bisa diterapkan.
Hasil penyelidikan Gakkumdu sudah dipublish Bawaslu dalam rangka transparansi kepada masyarakat. Memang ada rekomendasi kepada KPU selaku penyelenggara terhadap ketua KPPS dan Anggota di TPS 6 Juran Alas agar dijatuhi sanksi administratif dan tidak boleh lagi dilibatkan sebagai penyelenggara Pilkada di periode yang akan datang. Bawaslu tidak bisa memberikan sanksi tapi hanya rekomendasi.
“Menurut kami bahwa peristiwa hukum di TPS 6 Juran Alas sudah ditangani secara profesional dan transparan yang hasilnya belum ditemukan pelanggaran pidana.
Berbeda dengan Pemilu bahwa perbuatan merusak surat suara adalah perbuatan pidana.
Setiap perbuatan bisa dipidana jika sudah ada peraturannya sebagai bentuk azas legalitas.
Alat bukti lain masih terlalu sumir atau tidak jelas, untuk memenuhi unsur pidana maka harus ada minimal 2 alat bukti untuk meyakinkan hakim,” paparnya.
Di kasus TPS 6 sambung Kajari, kualifikasi saksi yang diperiksa rata-rata menerangkan setelah surat suara tercoblos tidak ada yang menerangkan kapan surat suara itu tercoblos.
Ini akan menjadi rekomendasi pihaknya kepada KPU di setiap tempat transit harus dipasangkan CCTV supaya keamanan surat suara bisa terjamin.
“Kami akan sarankan kepada penyelenggara Pemilu ketika masyarakat yang menerima surat suara sebelum mencoblos surat suara membuka dulu kertasnya. Jangan sampai setelah di bilik suara dividio dan diviralkan adanya surat suara yang sudah dicoblos, bisa PSU tapi akan merugikan negara karena tidak sedikit biaya yang dikeluarkan.
Inilah yang akan menjadi rekomendasi Kejaksaan,” pungkas Kajari Sumbawa.
Dosen FH UNSA, Endra Saputra, SH., MH., menyampaikan bahwa prinsip pihaknya ke Kejari Sumbawa sebagai kuliah lapangan bahwa apa yang diterima mahasiswa di kelas berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Namun kata Endra, masalah ini
akan menjadi preseden buruk
bagi demokrasi kita, mana kala hal tersebut tidak ada yang diketahui masyarakat.
Pasal UU yang memang betul tapi karena akan menjadi preseden buruk maka akan terulang lagi dan orang akan mencoba-coba karena peristiwa itu akan terulang lagi.
“Tidak mungkin tidak ada pelaku karena titik pencoblosan itu dilakukan.Harapan mahasiswa datang ke sini, karena ada ketidakpuasan hasil penanganan kasus ini. Agar tidak timbul lagi kasus seperti ini,” ujarnya. (BS)