Oleh: Joni Satriawan, M.AP
_Penulis adalah Pendiri Relawan Gerakan Pendukung Mohamad Ansori (GP ANSORI)_
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, akan dilaksanakan pada 27 November 2024 mendatang. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ini akan dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Termasuk di Kabupaten Sumbawa.
Saat ini memang belum memasuki tahapan resmi pencalonan yang dijadwalkan oleh KPU. Namun atmosfir politik Pilkada di Sumbawa sudah sangat terasa.
Diskusi tentang figur yang muncul untuk menjadi Calon Kepala Daerah (Cakada) menjadi pembahasan santer diberbagai kalangan. Baik di kalangan elit partai politik (Parpol), aktivis mahasiswa, LSM maupun masyarakat pada umumnya.
Berbagai tongkrongan atau kedai-kedai kopi tak luput dari obrolan yang membahas tentang figur Cakada. Media sosial seperti facebook hingga Whatsapp Group, juga dimanfaatkan menjadi sarana diskusi terkait Pilkada ini.
Sama seperti sejumlah daerah lainnya, proses penjajakan figur dan pasangan Cakada juga terjadi di Sumbawa. Ada banyak figur yang muncul. Baik secara individu, maupun secara berpasangan.
Mereka terlihat berlomba-lomba untuk mensosialisasikan diri. Ada banyak Alat Peraga Kampanye (APK) berupa baliho, spanduk dan lain-lain yang memuat gambar mereka. Terpasang diberbagai tempat. Dari pusat perkotaan, kecamatan hingga ke pelosok desa.
Tentu, hal tersebut dilakukan sebagai upaya ikhtiar mereka untuk menjadi Cakada. Namun apa mau dikata, tidak selalu kenyataan selaras dengan keinginan.
Sejumlah figur diantara mereka lambat laun telah meredup. Ada yang berhenti memframing diri dan bersosialisasi menjadi Cakada. Pun dengan yang sempat muncul secara berpasangan. Ada yang bubar, ada pula yang berganti pasangan.
Situasi demikian merupakan hal yang biasa alias wajar-wajar saja. Sebab individu bakal calon tidak dapat menentukan sendiri dengan siapa hendak akan berpasangan.
Kisah pasangan dalam dunia politik memang berbeda dengan kisah pasangan dalam asmara percintaan.
Dalam politik, pasangan calon kerap dijodohkan oleh parpol. Mereka dinikahkan dulu, baru kemudian membangun chemistry.
Sedangkan dalam asmara, chemestry percintaan menjadi dasar untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.
Terlepas dari dinamika yang telah lalu. Situasi terkini bakal Cakada Sumbawa nampaknya semakin mengerucut.
Salah satu figur yang kian mengerucut itu adalah Mohamad Ansori. Politisi yang berlatar belakang penguasaha ini bagaikan sebuah hanger pakaian. Digunakan untuk menggantung pakaian jenis apapun pasti pas dan cocok.
Kenapa? Karena Ansori memiliki value yang tidak dimiliki oleh figur lainnya. Alasan inilah yang menjadi dasar kenapa penulis terpanggil untuk mendukung Ansori pada Pilkada mendatang.
Kemudian penulis bersama beberapa rekan lain, bersepakat untuk mendirikan sebuah relawan yang kami beri nama Gerakan Pendukung Mohamad Ansori (GP ANSORI).
Selain menjabat sebagai Pimpinan DPRD Sumbawa, Ansori juga merupakan Ketua DPC Partai Gerindra Sumbawa. Parpol besutan Prabowo Subianto. Inilah yang penulis maksudkan sebagai value lebih yang ada pada Ansori.
Seperti kita ketahui bersama, Gerindra kini telah sukses merebut kepemimpinan bangsa. Menghantarkan Prabowo Subianto menjadi Presiden terpilih melalui Pilpres 14 Februari 2024 lalu.
Prabowo akan dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang. Sementara Pilkada akan dilaksanakan pada 27 Novomber 2024 mendatang.
Mungkinkah Prabowo memiliki coattail effect pada Pilkada Sumbawa? Jawabannya tentu sangat memungkinkan.
Terlebih, masyarakat Sumbawa sudah memiliki refrensi terkait linieritas kepemimpinan antara pemerintah pusat dan daerah.
Sebab, linieritas kepemimpinan tersebut bukanlah hal yang tidak pernah terjadi di Sumbawa. Pernah terjadi pada massa kepemimpinan Husni Djibril.
Linieritas kepemimpinan yang pernah terjadi itu, sangat menguntungkan masyarakat Sumbawa. Laju pembangunan terasa cepat.
Diakui atau tidak, pada massa Bupati Husni Djibril, Kabupaten Sumbawa mendapat kucuran anggaran yang begitu besar dari pusat. Anggaran tersebut diperuntukkan untuk membangun mega proyek, bendungan Bringin Sila.
Nilainya sangat fantastis, yakni Rp 1,7 triliun. Sama besar nilainya dengan APBD Kabupaten Sumbawa pada tahun bersamaan mega proyek tersebut dibangun.
Jika dikomparasikan pemerintahan Husni Djibril dengan pemerintahan sebelum ataupun sesudahnya, sangat kontras perbedaannya.
Sebelum dan sesudah pemerintahan Husni Djibril tidak ada kucuran anggaran besar dari pusat. Ini fakta yang harus kita akui bersama.
Tentunya hal ini memunculkan pertanyaan. Kenapa Husni Djibril bisa berbeda? Apakah hanya kebetulan saja?
Jawabannya tentu tidak. Melainkan ada faktor khusus yang membuat Husni Djibril menjadi berbeda.
Hemat penulis, faktor tersebut tidak lain dan tidak bukan karena linieritas kepemimpinan itu tadi. Berkah yang didapat Kabupaten Sumbawa pada masa itu tidak lepas dari figur Husni Djibril sebagai Bupati dan Jokowi sebagai Presiden.
Husni Djibril dan Jokowi sama-sama bernaung di bawah bendera parpol yang sama.
Berbeda dengan pemerintahan sebelum dan sesudah Husni Djibril. Kepemimpinan yang tidak linier menyulitkan pemerintah daerah dalam melakukan proses lobby terkait kebijakan dan alokasi anggaran pusat ke daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki maps untuk masuk ke jantung pemerintahan pusat.
Jika republik ini kita ibaratkan seperti sebuah rumah tangga, maka pemerintah pusat adalah seorang bapak. Sedangkan pemerintah daerah adalah anaknya.
Seorang anak tentu akan lebih mudah jika meminta sesuatu kepada bapaknya. Bahkan bapak wajib untuk memberikan apa yang menjadi kebutuhan anaknya.
Berbeda jika hanya menjadi seorang keponakan. Mau minta kepada sang paman, pasti tidak semudah anak meminta kepada sang bapak. Apalagi jika hanya orang lain yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan. Mau minta pasti ragu-ragu. Bahkan kecenderungan diselimuti rasa malu untuk meminta. Sulit untuk bisa terpenuhi apa yang menjadi permintaannya.
Prabowo dan Ansori, merupakan anak dan bapak dalam konteks kepartaian. Kini Prabowo telah menjadi kepala negara. Untuk menciptakan lineritas kepemimpinan pusat dan daerah, maka PR kita adalah menjadikan Ansori sebagai kepala daerah. Agar hubungan bapak dan anak antara Prabowo dan Ansori tidak hanya sebatas di kepartaian saja. Melainkan juga bisa terbangun dalam konteks pemerintahan.
Hal tersebut akan terejawantah jika ada keinginan yang sama pada mayoritas masyarakat Sumbawa. Apakah kita mengidamkan adanya sosok pemimpin yang memiliki akses langsung ke jantung pemerintah pusat atau tidak. Ataukah kita menginginkan pemimpin yang mencari pintu ke pusat pun susah?
Penulis yakin, masyarakat pasti menginginkan kepala daerah yang memiliki akses langsung ke jantung pemerintah pusat. Sebab hal itu akan menguntungkan masyarakat itu sendiri. Pada momentum Pilkada Sumbawa kali ini, hanya figur Mohamad Ansori yang memiliki potensi dan power tersebut. Tidak ada pada figur lainnya.